dikutip dari eramuslim :
Sungguh tipu daya Belanda lewat Jenderal De Kock terhadap Pangeran Diponegoro yang akhirnya menghentikan Perang Jawa, mempunyai dampak sangat besar terhadap Kehidupan Islami di Keraton-Keraton Jawa,
Ustadz Sallim Fillah, salah seorang pendakwah yang juga keturunan Laskar Diponegoro, yang aktif meneliti Sejarah Islam di Jawa, wabilkhusus Perang Jawa, mengatakan jika kalahnya Diponegoro memiliki dampak besar terhadap Kehidupan Islami di Keraton-Keraton Jawa, seperti di Keraton Yogyakarta dan juga Keraton Kasunanan Surakarta.
beberapa diantaranya adalah : Jika sebelum perang terdapat Sistem Peradilan Islam atau Mahkamah Syariah yang berada di masjid gedhe keraton kesultanan yogyakarta dan keraton kasunanan surakarta, setelah Diponegoro diasingkan maka peradilan agama islam atau mahkamah syariah ini dihapus belanda.
"Sejak dibuangnya Diponegoro, maka seluruh kurikulum pengajaran agama di keraton bagi para pangeran diubah oleh belanda. patut diketahui Sultan Hamengkubuwono I sampai dengan Hamengkubuwono IV itu semuanya fasih berbahasa arab. namun setelah kekalahan diponegoro, kurikulum untuk pendidikan agama sultan kecil, Hamengkubuwono V sampai dengan sultan-sultan berikutnya, diubah oleh Belanda hingga kurikulumnya jauh dari nilai-nilai Islam...," demikian salim fillah
masih menurut penelitiannya, sejak kekalahan diponegoro pula, para ulama dan guru ngaji, tersingkir dari kehidupan keraton.
saat perang 1825-1830, hampir seluruh santri, ulama, dan guru ngaji, ustadz, kyai, khatib, penghulu, berada dibelakang diponegoro. maka ketika diponegoro ditangkap dan dibuang, mereka ini dituding oleh belanda sebagai ekstremis, radikalis, yang harus dimusuhi dan dijauhi oleh rakyat.
Perang Jawa telah menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan yang begitu dahsyat, dan hal ini oleh belanda, yang juga diamini oleh pihak keraton yang sudah dijinakan penjajah, ditimpakan semua kesalahannya kepada para ulama dan santri. ini dipropagandakan oleh penjajah dan antek-anteknya kepada rakyat kecil sehingga keislaman di tanah Jawa mengalami degradasi atau kemerosotan yang parah. islam dianggap ajaran asing yang merusak ketentraman tatanan yang sudah ada selama berabad lamanya.
disisi lain, belanda juga semakin gencar memasukan budaya barat dan sejenisnya ke dalam kehidupan keraton dan juga masyarakat secara umum. ini adalah bentuk perang lain yang dilancarkan belanda, untuk merusak islam, paska menipu dan menangkap Diponegoro.
"perempuan-perempuan di keraton yogya dimasa Sultan Hamengkubuwono I sampai Sultan Hamengkubuwono IV, mengenakan hijab. hal ini bisa dibaca dalam Babad Diponegoro, yang ditulisnya sendiri saat pembuangannya di Manado, yang menceritakan ketika neneknya sendiri, Ratu Ageng Tegalrejo (Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I dan Ibu dari Sultan Hamengkubuwono II), sedang bekerja dan terjatuh di pematang sawah, mungkin karena sudah tua usianya, saat digotong orang-orang untuk dibawa kembali ke puri tegalredjo, sambil menahan sakit, Ratu Ageng masih berusaha membetulkan hijabnya. Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I itu berhijab sempurna," ujar Salim Fillah.
dalam keterangan lain juga disebutkan jika semasa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono I sampai dengan Hamengkubuwono IV, tarian-tarian yang dimainkan oleh perempuan dilarang di keraton, namun setelahnya diperbolehkan atas campur tangan Belanda.
pada lukisan-lukisan yang terdapat dalam The Book of Kedungkebo, sebuah catatan Perang Diponegoro tulisan seorang Bupati di Kedungkebo (Purworejo sekarang) yang pernah menjadi laskar Diponegoro, juga dimuat gambar-gambar Perempuan-Perempuan keraton Yogya dulunya berhijab.
"ada lukisan tentang Ratu Kencono, ibunda Sultan Hamengkubuwono V, itu juga dilukiskan mengenakan kerudung...,"tambah salim.
sejak berakhirnya Perang Jawa, Belanda sungguh-sungguh ingin menjauhkan keraton di Jawa dengan nilai keislaman, sehingga dipropagandakan ke dalam alam bawah sadar orang-orang jawa jika seorang Jawa Serarus Persen tidak akan bisa menjadi Islam Seratus Persen.
"padahal dulunya, kehidupan di dalam keraton dibangun dan diasaskan oleh Sultan Hamengkubuwono I seluruhnya bersendikan dan berpedoman pada nilai-nilai Islam yang syar'i secara sempurna," tambahnya lagi.
selain itu, juga setelah Diponegoro ditangkap, pesantren-pesantren di Jawa yang tadinya mengajarkan Qur'an, mengajarkan Hadits, Fikih, Ekonomi Islam, jihad apalagi, dan sebagainya dibasmi. Belanda menyisakan pesantren-pesantren yang hanya mengajarkan wirid-wirid, dan ritual-ritual tasawufi.
Lantas mengapa Perempuan-Perempuan yang ada di keraton jawa kini mengenakan kemben dalam berbusana ?
hal ini pun ada akar sejarahnya, yakni pada jaman kolonial sudah menjadi kelaziman jika Raja-Raja di Bali memberikan hadiah pada Raja-Raja Jawa dan lainnya berupa budak-budak perempuan maupun lelaki. di Bali perempuan-perempuan sudah lazim sejak dulu sampai dengan tahun-tahun 1940an pun masih bertelanjang dada.
Nah, ketika budak-budak perempuan bali ini dihadiahkan oleh rajanya pada Keraton Yogya dan keraton sekitarnya, maka dada mereka ini ditutupi oleh kain yang dililitkan yang disebut sebagai kemben. inilah sejarah pakaian kemben yang sekarang malah banyak dipakai sebagai pakaian para abdi dalem perempuan keraton. itu berasal dari pakaian budak-budak Bali.
secara ringkas bisa dikatakan jika Perang Jawa adalah masa pembeda antara islamnya keraton yogya dan keraton jawa lainnya dengan masa-masa dimana Islam dijauhkan dan dihapus dari kehidupan keraton dan tradisi masyarakat jawa.
Sumber Gambar :
No comments:
Post a Comment